Pages

Sunday, September 27, 2015

Begitu Singkatnya Waktu



Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhasa



Jivitam aniatam, Maranam niatam

Kehidupan tidaklah pasti, Kematianlah yang pasti



Di dalam Anguttara Nikaya 3 : 35, Sang Buddha mengisahkan Tiga Utusan Dewa:

Ada orang yang berperilaku buruk dalam perbuatan, perkataan dan pikiran. Setelah meninggal dunia, ia terlahir ulang di alam sengsara. Para petugas neraka membawanya menghadap kepada Raja Yama (Giam Lo Ong, dalam tradisi Tionghoa), Sang Penguasa Kematian.


Kata seorang sipir, “Yang Mulia, orang ini tak menghormati ayah dan ibu, petapa, brahmana, juga tidak menghormati para sesepuh keluarganya. Jatuhkanlah hukuman setimpal baginya.”



Sang Raja Yama bertanya kepada sang pesakitan, “Tidakkah engkau lihat utusan dewa pertama yang muncul?” 

“Tidak, saya tidak melihatnya” kata orang tersebut.


“Pernahkah kau lihat perempuan atau lelaki yang renta, bertubuh bungkuk, berpegangan pada tongkat, gemetaran, sakit-sakitan, gigi ompong, beruban, kulit keriput dan berborok?”


“Ya, saya pernah melihatnya.”


“Wahai manusia, tidakkah pernah terlintas olehmu, ‘Aku juga akan menjadi tua dan tak mampu menghindarinya. Sekarang aku ingin melakukan perbuatan baik dengan tubuh, ucapan dan pikiran.’” 

“Tidak, saya lalai dan tidak melakukannya.”


“Engkau akan diganjar sesuai dengan kelalaianmu. Engkau sendiri yang melakukan kejahatan dan merasakan buahnya.”



“Lalu, tidakkah engkau lihat utusan dewa kedua yang muncul?” 

“Tidak, saya tidak melihatnya” kata orang tersebut.


“Pernahkah kau lihat perempuan atau lelaki yang sakit parah dan menderita, terbaring di atas kotorannya sendiri, terpaksa diangkat sebagian orang dan diletakkan di pembaringan?”


“Ya, saya pernah melihatnya.”


“Wahai manusia, tidakkah pernah terlintas olehmu, ‘Aku juga akan sakit dan tak mampu mengelakkannya. Sekarang aku ingin melakukan perbuatan baik dengan tubuh, ucapan dan pikiran.’” “

Tidak, saya lalai dan tidak melakukannya.”


“Karena lalai, engkau akan diganjar sesuai dengan kelalaianmu. Engkau sendiri yang melakukan kejahatan dan merasakan buahnya.”



“Dan, tidakkah engkau lihat utusan dewa ketiga yang muncul?” 

“Tidak, saya tidak melihatnya” kata orang tersebut.


“Pernahkah kau lihat perempuan atau lelaki yang telah mati satu, dua atau tiga hari, mayatnya membengkak, berubah warna dan membusuk?”


“Ya, saya pernah melihatnya.”


“Wahai manusia, tidakkah pernah terlintas olehmu, ‘Aku juga akan mati dan tak mampu mengelakkannya. Sekarang aku ingin melakukan perbuatan baik dengan tubuh, ucapan dan pikiran.’” 

“Tidak, saya lalai dan tidak melakukannya.”


“Karena lalai, engkau akan diganjar sesuai dengan kelalaianmu. Perbuatan burukmu tidak dilakukan ayah, ibu, saudara, atau pun sahabatmu. Namun engkau sendiri yang melakukan kejahatan dan merasakan buahnya.”



Dalam sutta tersebut telah jelas disampaikan, ada tiga hal yang pasti akan kita terima, yaitu usia tua, sakit dan mati. Tiap manusia yang telah lahir, pasti akan antri untuk mati. Cepat atau lambat. Bahkan seorang bayi pun, telah mengalami proses penuaan. Setidaknya ia akan berkembang, menjadi kanak-kanak, remaja, dewasa lalu menua. Meski kerap kita jumpai, tidak sedikit orang yang masih bayi, anak-anak dan masih belia, telah meninggal dan berpindah alam. Ini adalah realita hakiki, bahwa siapapun kelak akan mati.


Pertanyaannya, “Sudahkah Anda telah persiapkan diri?”


Sepanjang sejarah, tiap manusia mencoba mencari resep usia panjang. Di banyak kisah dalam sejarah para kaisar Tiongkok, berebut tanah dan pencarian panjang obat untuk hidup kekal. Namun, apa daya kuasa kematian tetap tak terkalahkan.


Zaman saat ini pun yang kemajuan teknologi telah menyentuh segala bidang, tetap tak mampu menghambat proses penuaan dan mencegah kematian. Meski secara kosmetik pun ada istilah antiaging, tetep wajah berproses, mengerut, keriput, lalu nampak jelek.



Di dunia finansial, para ekonom mencoba menawarkan produk asuransi jiwa. Sesungguhnya, kurang tepat menyebut Life Inssurance sebagai Asuransi Jiwa. Sebab bukan jiwa dari Sang Pemegang Polis yang menerima guarantee/jaminan, sebab siapa pun makhluk yang hidup kelak pasti akan mati. Melainkan memberikan sejumlah uang kepada para orang yang dikasihinya, istri/suami yang ditinggalkan, anak atau cucunya, untuk tetap dapat melanjutkan hidupnya. Dengan tidak kehilangan seluruh sumber keuangan keluarga dari hasil claim Uang Pertanggungan Life Inssurance tersebut, akibat meninggalnya seorang pencari nafkah keluarga.



Di dalam Dhamma, Sang Buddha pun memberikan kiat praktis untuk bertahan hidup dalam menjadi kehidupan selaku perumah tangga.


Sedikitnya, ada Empat Hal yang diinginkan, diharapkan oleh semua orang, namun sulit untuk diperoleh. Yaitu memiliki harta kekayaan, kesehatan, usia panjang, dan bila mati akan masuk surga.


Dalam hal ini, Sang Buddha tidak pernah mencegah umatNya untuk bekerja dan mencari kekayaan, selama kekayaan tersebut dicari dengan cara halal, baik dan benar.



Ada lima alasan, seseorang perumah tangga memiliki kekayaan.

1) Dengan kekeyaan tersebut, ia dapat membahagiakan dirinya sendiri. Dengan mempertahankan kebahagiaan tersebut, ia membahagiakan orangtuanya, isteri dan anak-anaknya, para pelayannya, dan para pekerjanya.

2) Dengan kekayaannya, ia dapat membuat teman-teman dan rekan-rekannya berbahagia.

3)  Dengan kekayaannya, ia membuat dirinya sendiri aman terhadap bahaya/musibah yang mungkin timbul seperti oleh api, air, raja, perampok, dan ahli waris yang salah.

4)  Ia dapat membuat persembahan rangkap lima, kepada a) sanak keluarganya, b) para tamunya, c) leluhur (yang telah meninggal), d) raja (pemerintah, negara melalui pajak), e) para dewa.



Di dalam Anguttara Nikaya 4: 62, kepada murid perumahtangga-Nya yang terkenal Anathapindika, Sang Buddha menyebutkan ada Empat Jenis Kebahagiaan yang bisa dicapai dalam kehidupan duniawi ini, yaitu :

1)      Kebahagiaan karena memiliki

2)      Kebahagiaan karena menikmati

3)      Kebahagiaan karena bebas dari hutang

4)      Kebahagiaan karena tiada cela.

Dan kebahagiaan keempat tersebut melebihi dari ketiga sebelumnya digabung menjadi satu.



Lebih lanjut, kepada Vyagghapajja, Sang Buddha memberikan wejangan bahwa ada empat hal yang dapat mendatangkan kesejahteraan dan kebahagiaan tersebut dengan cara :

1.      Memiliki ketekunan (Utthanasampada)

2.      Memiliki kewaspadaan (Arakkhasampada)

3.      Memiliki sahabat sejati (Kalyanamittata)

4.      Kehidupan yang seimbang (Samajivita)



Sang Buddha menyebutkan “Jivitam aniatam, Maranam niatam” yang artinya Kehidupan tidaklah pasti, Kematianlah yang pasti.


Oleh sebab itu, jangan pernah menyia-siakan hidup sebagai manusia. Selaku perumah tangga pun, kita dapat memunculkan kemendesakan spiritual (samvega) untuk melakukan berbagai upaya bajik dalam rangka mengumpulkan kebajikan...hingga ujungnya merealisasi cita-cita paling akhir, yaitu kebebasan sempurna.

VKM, 26 Juli 2015

No comments:

 

Blogger news

Blogroll

About