Pages

Sunday, September 27, 2015

Samma Ditthi: Menghapus Tabir Kelam Perbedaan Dhamma dan Adhamma



Di antara semua jalan, maka Jalan Mulia Berfaktor Delapan adalah yang terbaik; di antara semua kebenaran, maka Empat Kebenaran Mulia adalah yang terbaik.

~ Dhammapada XX : 273



Tak dapat dipungkiri, umat Buddha Indonesia menghadapi kerancuan pandangan akan banyaknya tradisi atau budaya yang telah melebur, bercampur dan sinkretis dengan Buddha Dhamma. Sehingga tak heran bilamana beberapa umat yang galau tersebut mempertanyakan manakah Dhamma yang benar itu? Dan mana yang bukan Dhamma?



Salah satunya kerancuan akan pandangan mengenai telah datangnya Buddha akan datang, Buddha Metteya. Bahkan ada catatan yang menyebutkan pada tanggal 1 Agustus 1943 (Ref. Majalah Dhammacakka No. 43/XII/Agustus-Oktober 2006 artikel berjudul Kerancuan Pandangan hal. 12). Padahal kita semua tahu bahwa Ajaran Buddha Gotama masih eksis dan lengkap, yang tertuang di dalam Tipitaka.



Pandangan berikutnya, dari BBM seorang teman yang mempertanyakan apakah je it dan cap go (tiap tgl 1 dan 15 penanggalan lunar), umat Buddha wajib melakukan cia cai (vegetarian)? 

Saya menjawab, bila ia terbiasa cia cai, silakan. Bila tidak, jangan dipaksa!


Di dalam Dhamma, Sang Buddha tidak pernah mempermasalahkan umat-Nya untuk bervegetarian.

Bila umat Buddha Mahayana cukup ketat untuk menghimbau untuk veggie, itu baik. Dengan pemahaman untuk berlatih welas asih pada semua makhluk. Dan demi pola hidup sehat. Tapi, bukan berarti yang bukan veggie itu buruk dan salah, atau telah melanggar sila.



Vegetarian tidak menjadikan seseorang menjadi suci dan murni. Di dalam Amagandha Sutta, Sang Buddha berkata:

Bukan daging, atau berpuasa, atau bertelanjang,

Bukan kepala tercukur, atau rambut kusut, atau kotor,

Bukan kulit yang kasar, atau pemujaan api,

Bukan semua pengampunan dosa di dunia ini,

Bukan kidung, atau pengorbanan,

Bukan pesta musiman,


Yang akan memurnikan seseorang yang dikuasai keragu-raguan.



Di dalam Majjhima Nikaya I: 369, Sang Buddha mendapat pertanyaan dari Jivaka Komarabhacca berikut, “Yang Mulia, saya telah mendengar bahwa bahwa hewan sengaja dibantai untuk petapa Gotama, dan bahwa petapa Gotama secara sadar makan daging yang sengaja dibunuh untuk-Nya. Yang Mulia, apakah mereka yang berkata demikian memberikan tuduhan palsu kepada Sang Buddha? Atau apakah mereka mengatakan yang sebenarnya? Apakah pernyataan tambahan Anda tidak diejek oleh orang lain dengan segala cara?”


“Mereka yang berkata demikian, tidak berkata sesuai dengan apa yang telah Aku nyatakan dan mereka memberi tuduhan palsu kepada-Ku. Jivaka, Aku telah menyatakan bahwa seseorang tidak boleh menggunakan daging jika terlihat, terdengar, dan dicurigai telah sengaja dibunuh untuk seorang bhikkhu. Aku mengiizinkan para bhikkhu makan daging yang cukup murni dalam tiga hal: jika daging itu tidak terlihat, terdengar, dan dicurigai telah sengaja dibunuh untuk seorang bhikkhu.”



Jadi jelas di sini, Sang Buddha menyatakan bahwa bukanlah apa yang masuk ke dalam mulut seseorang yang mengotori, melainkan apa yang keluar dari mulutnya. Tujuan belajar Dhamma adalah mengurangi ketamakan, bukan pada jenis makanan yang dikonsumsinya.



Walau demikian, Sang Buddha menganjurkan para bhikkhu untuk menghindari memakan sepuluh jenis daging untuk kehormatan dan perlindungan diri mereka. Jenis daging tersebut antara lain: manusia, gajah, kuda, anjing, ular, singa, harimau, macan tutul, beruang, dan hyena. Beberapa hewan menyerang orang jika mereka mencium daging jenis mereka. (Vinaya Pitaka)



Kesalahan pandangan yang lain, adalah menganggap beberapa tradisi dan budaya leluhur sebagai Dhamma. 


Pada hari ini, umat keturunan Thionghoa merayakan Perayaan Tiong Ciu, yang tepat pada peh gwee cap go atau tanggal 15 bulan 8 penanggalan lunar. Sesungguhnya mereka merayakan perayaan tengah musim gugur. Mereka berkumpul pada tengah malam untuk melihat malam bulan purnama, yang konon termasuk yang paling bulat, paling besar dan paling indah sepanjang tahun. Para remaja, muda-mudi yang belum berpasangan mencari jodoh dalam perayaan tersebut. Ladang untuk mencari jodoh.


Andai mereka mau menilik latar sejarah di baliknya, bahwa kisah Tiong Ciu adalah kisah percemburuan Dewi Chang E kepada suaminya yang hidung belang Hou Yi. Yang terkenal karena telah memanah 9 matahari yang ketika itu bumi ini dikelilingi oleh sepuluh matahari. Panas sekali, banyak hewan mati kepanasan, dan tumbuhan tak dapat tumbuh. Singkat cerita, karena rasa sesalnya Hou Yi karena kedapatan selingkuh, ia berniat untuk mendapatkan pil keabadian. Suatu ketika, Chang E menelan sendiri pil tersebut, hingga ia terbang ke langit, namun karena tidak diterima Raja Langit, ia terbang ke bulan. Untuk mengungkapkan rasa rindunya, Hou Yi membuat kue bulan untuk berharap Chang E kembali kepadanya. 


Sungguh rada aneh ya, kisah perselingkuhan dan rasa cemburu, berkembang menjadi perayaan mencari jodoh?


Namun, bila umat merayakan tradisi dan budaya tersebut, silakan?! Sang Buddha tidak pernah menolak dan melarang umat-Nya untuk merayakan tradisi leluhur selama hal tersebut tidak merugikan dirinya sendiri dan orang lain.



Ada kisah lain tentang tradisi. Bila bulan lalu, umat Buddha mengadakan upacara pattidana, umat Buddha Mahayana dan kaum Tionghoa pada umumnya mengadakan ulambana. Salah satunya melakukan pembakaran kertas sembahyang, yang disebut Kim Cua (kertas emas) dan Gin Cua (kertas perak) untuk upacara sembahyang kepada leluhur dan para arwah yang telah meninggal. Apakah hal itu salah? Kembali dalam Ajaran Buddha tidak pernah melarang praktik tradisi leluhur. Hal ini dapat diambil hikmahnya, yaitu bakti kepada orangtua dan para leluhur. 


Namun, alangkah baiknya bila kita kembali menilik akar sejarahnya.



Alkisah, seorang kaisar dari dinasti Tang yang amat bijak, berpura-pura mati selama tiga hari. Ketika disemayamkan oleh para keluarga kerajaan, ia terbangun. Dan saat bangun, kepada hulu balang kerajaan, ia mengatakan mendapat visi/pandangan dalam masa mati surinya. Beliau menghimbau kepada keturunan dan sanak keluarganya, yang kelak diikuti oleh para rakyatnya untuk membakar kertas emas dan perak untuk menghormati para leluhur yang telah meninggal, yang mungkin terlahir di alam menderita. 


Tahukah Anda, usut demi usut, ternyata ini adalah siasat politik Sang Kaisar yang bijak yang tahu betul bahwa kerajaannya tidak semuanya subur dan makmur. Ada daerah tertentu yang tandus dan gersang, dan hanya tumbuh pohon bambu untuk pembuat kertas pada waktu itu. Sehingga yang semula terjadi kesenjangan ekonomi di kerajaannya, kini dengan produksi massal pembuatan kertas sembahyang, maka para kaum miskin tersebut memiliki lapangan pekerjaan.


Namun, kini setelah sekian ratus tahun kemudian, pihak yang produksi bukan cuma penduduk miskin, melainkan diproduksi oleh orang-orang kaya pemilik pabrik kertas... hehehe... 



Di dalam Mahaparinibbana Sutta, mendengar desas-desus perbincangan para bhikkhu, Bhante Ananda galau dan gundah gulana bila Sang Guru akan meninggal dunia atau parinibbana, siapakah kelak yang akan memimpin Sangha. Sang Buddha berkata, “Ada kemungkinan, bahwa di antara kalian ada yang berpikir: `Berakhirlah kata-kata Sang Guru; kita tidak mempunyai seorang Guru lagi.` Tetapi, Ananda, hendaknya tidak berpikir demikian. Sebab apa yang telah Aku ajarkan sebagai Dhamma dan Vinaya, Ananda, itulah kelak yang menjadi Guru-mu, ketika Aku pergi.”



Dengan memiliki pandangan yang benar, kita dapat menjadikan Dhamma dan Vinaya sebagai perlindungan dan acuan jalan hidup kita dalam mengarungi arus samsara. Dengan memiliki pandangan pada Empat Kebenaran Mulia, bahwa ada dukkha; ada asal mula dari dukkha; ada akhir dari dukkha; dan sungguh melegakan bahwa ada jalan untuk mengakhiri dukkha. (Dhp 188-192)



Akhir kata, saya mengutip dari Samyutta Nikaya 19, Satipatthana Sutta; “Dengan melindungi diri sendiri, kita akan melindungi orang lain. Dengan melindungi orang lain, kita akan melindungi diri sendiri.” 


“Dan bagaimana seseorang, dengan melindungi diri sendiri, juga akan melindungi orang lain? Dengan pengulangan dan praktik meditasi terus-menerus.”


“Dan bagaimana seseorang, dengan melindungi orang lain, juga akan melindungi diri sendiri? Dengan kesabaran dan menahan diri, dengan hidup tanpa kejahatan dan tak membahayakan, dengan cinta kasih dan belas kasih.”


(VKM, 27 Sept 2015)

Begitu Singkatnya Waktu



Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhasa



Jivitam aniatam, Maranam niatam

Kehidupan tidaklah pasti, Kematianlah yang pasti



Di dalam Anguttara Nikaya 3 : 35, Sang Buddha mengisahkan Tiga Utusan Dewa:

Ada orang yang berperilaku buruk dalam perbuatan, perkataan dan pikiran. Setelah meninggal dunia, ia terlahir ulang di alam sengsara. Para petugas neraka membawanya menghadap kepada Raja Yama (Giam Lo Ong, dalam tradisi Tionghoa), Sang Penguasa Kematian.


Kata seorang sipir, “Yang Mulia, orang ini tak menghormati ayah dan ibu, petapa, brahmana, juga tidak menghormati para sesepuh keluarganya. Jatuhkanlah hukuman setimpal baginya.”



Sang Raja Yama bertanya kepada sang pesakitan, “Tidakkah engkau lihat utusan dewa pertama yang muncul?” 

“Tidak, saya tidak melihatnya” kata orang tersebut.


“Pernahkah kau lihat perempuan atau lelaki yang renta, bertubuh bungkuk, berpegangan pada tongkat, gemetaran, sakit-sakitan, gigi ompong, beruban, kulit keriput dan berborok?”


“Ya, saya pernah melihatnya.”


“Wahai manusia, tidakkah pernah terlintas olehmu, ‘Aku juga akan menjadi tua dan tak mampu menghindarinya. Sekarang aku ingin melakukan perbuatan baik dengan tubuh, ucapan dan pikiran.’” 

“Tidak, saya lalai dan tidak melakukannya.”


“Engkau akan diganjar sesuai dengan kelalaianmu. Engkau sendiri yang melakukan kejahatan dan merasakan buahnya.”



“Lalu, tidakkah engkau lihat utusan dewa kedua yang muncul?” 

“Tidak, saya tidak melihatnya” kata orang tersebut.


“Pernahkah kau lihat perempuan atau lelaki yang sakit parah dan menderita, terbaring di atas kotorannya sendiri, terpaksa diangkat sebagian orang dan diletakkan di pembaringan?”


“Ya, saya pernah melihatnya.”


“Wahai manusia, tidakkah pernah terlintas olehmu, ‘Aku juga akan sakit dan tak mampu mengelakkannya. Sekarang aku ingin melakukan perbuatan baik dengan tubuh, ucapan dan pikiran.’” “

Tidak, saya lalai dan tidak melakukannya.”


“Karena lalai, engkau akan diganjar sesuai dengan kelalaianmu. Engkau sendiri yang melakukan kejahatan dan merasakan buahnya.”



“Dan, tidakkah engkau lihat utusan dewa ketiga yang muncul?” 

“Tidak, saya tidak melihatnya” kata orang tersebut.


“Pernahkah kau lihat perempuan atau lelaki yang telah mati satu, dua atau tiga hari, mayatnya membengkak, berubah warna dan membusuk?”


“Ya, saya pernah melihatnya.”


“Wahai manusia, tidakkah pernah terlintas olehmu, ‘Aku juga akan mati dan tak mampu mengelakkannya. Sekarang aku ingin melakukan perbuatan baik dengan tubuh, ucapan dan pikiran.’” 

“Tidak, saya lalai dan tidak melakukannya.”


“Karena lalai, engkau akan diganjar sesuai dengan kelalaianmu. Perbuatan burukmu tidak dilakukan ayah, ibu, saudara, atau pun sahabatmu. Namun engkau sendiri yang melakukan kejahatan dan merasakan buahnya.”



Dalam sutta tersebut telah jelas disampaikan, ada tiga hal yang pasti akan kita terima, yaitu usia tua, sakit dan mati. Tiap manusia yang telah lahir, pasti akan antri untuk mati. Cepat atau lambat. Bahkan seorang bayi pun, telah mengalami proses penuaan. Setidaknya ia akan berkembang, menjadi kanak-kanak, remaja, dewasa lalu menua. Meski kerap kita jumpai, tidak sedikit orang yang masih bayi, anak-anak dan masih belia, telah meninggal dan berpindah alam. Ini adalah realita hakiki, bahwa siapapun kelak akan mati.


Pertanyaannya, “Sudahkah Anda telah persiapkan diri?”


Sepanjang sejarah, tiap manusia mencoba mencari resep usia panjang. Di banyak kisah dalam sejarah para kaisar Tiongkok, berebut tanah dan pencarian panjang obat untuk hidup kekal. Namun, apa daya kuasa kematian tetap tak terkalahkan.


Zaman saat ini pun yang kemajuan teknologi telah menyentuh segala bidang, tetap tak mampu menghambat proses penuaan dan mencegah kematian. Meski secara kosmetik pun ada istilah antiaging, tetep wajah berproses, mengerut, keriput, lalu nampak jelek.



Di dunia finansial, para ekonom mencoba menawarkan produk asuransi jiwa. Sesungguhnya, kurang tepat menyebut Life Inssurance sebagai Asuransi Jiwa. Sebab bukan jiwa dari Sang Pemegang Polis yang menerima guarantee/jaminan, sebab siapa pun makhluk yang hidup kelak pasti akan mati. Melainkan memberikan sejumlah uang kepada para orang yang dikasihinya, istri/suami yang ditinggalkan, anak atau cucunya, untuk tetap dapat melanjutkan hidupnya. Dengan tidak kehilangan seluruh sumber keuangan keluarga dari hasil claim Uang Pertanggungan Life Inssurance tersebut, akibat meninggalnya seorang pencari nafkah keluarga.



Di dalam Dhamma, Sang Buddha pun memberikan kiat praktis untuk bertahan hidup dalam menjadi kehidupan selaku perumah tangga.


Sedikitnya, ada Empat Hal yang diinginkan, diharapkan oleh semua orang, namun sulit untuk diperoleh. Yaitu memiliki harta kekayaan, kesehatan, usia panjang, dan bila mati akan masuk surga.


Dalam hal ini, Sang Buddha tidak pernah mencegah umatNya untuk bekerja dan mencari kekayaan, selama kekayaan tersebut dicari dengan cara halal, baik dan benar.



Ada lima alasan, seseorang perumah tangga memiliki kekayaan.

1) Dengan kekeyaan tersebut, ia dapat membahagiakan dirinya sendiri. Dengan mempertahankan kebahagiaan tersebut, ia membahagiakan orangtuanya, isteri dan anak-anaknya, para pelayannya, dan para pekerjanya.

2) Dengan kekayaannya, ia dapat membuat teman-teman dan rekan-rekannya berbahagia.

3)  Dengan kekayaannya, ia membuat dirinya sendiri aman terhadap bahaya/musibah yang mungkin timbul seperti oleh api, air, raja, perampok, dan ahli waris yang salah.

4)  Ia dapat membuat persembahan rangkap lima, kepada a) sanak keluarganya, b) para tamunya, c) leluhur (yang telah meninggal), d) raja (pemerintah, negara melalui pajak), e) para dewa.



Di dalam Anguttara Nikaya 4: 62, kepada murid perumahtangga-Nya yang terkenal Anathapindika, Sang Buddha menyebutkan ada Empat Jenis Kebahagiaan yang bisa dicapai dalam kehidupan duniawi ini, yaitu :

1)      Kebahagiaan karena memiliki

2)      Kebahagiaan karena menikmati

3)      Kebahagiaan karena bebas dari hutang

4)      Kebahagiaan karena tiada cela.

Dan kebahagiaan keempat tersebut melebihi dari ketiga sebelumnya digabung menjadi satu.



Lebih lanjut, kepada Vyagghapajja, Sang Buddha memberikan wejangan bahwa ada empat hal yang dapat mendatangkan kesejahteraan dan kebahagiaan tersebut dengan cara :

1.      Memiliki ketekunan (Utthanasampada)

2.      Memiliki kewaspadaan (Arakkhasampada)

3.      Memiliki sahabat sejati (Kalyanamittata)

4.      Kehidupan yang seimbang (Samajivita)



Sang Buddha menyebutkan “Jivitam aniatam, Maranam niatam” yang artinya Kehidupan tidaklah pasti, Kematianlah yang pasti.


Oleh sebab itu, jangan pernah menyia-siakan hidup sebagai manusia. Selaku perumah tangga pun, kita dapat memunculkan kemendesakan spiritual (samvega) untuk melakukan berbagai upaya bajik dalam rangka mengumpulkan kebajikan...hingga ujungnya merealisasi cita-cita paling akhir, yaitu kebebasan sempurna.

VKM, 26 Juli 2015
 

Blogger news

Blogroll

About