Namo Tassa Bhagavato
Arahato Sammasambuddhasa
Jivitam aniatam,
Maranam niatam
Kehidupan
tidaklah pasti, Kematianlah yang pasti
Di dalam
Anguttara Nikaya 3 : 35, Sang Buddha mengisahkan Tiga Utusan Dewa:
Ada orang yang berperilaku
buruk dalam perbuatan, perkataan dan pikiran. Setelah meninggal dunia, ia
terlahir ulang di alam sengsara. Para petugas neraka membawanya menghadap
kepada Raja Yama (Giam Lo Ong, dalam tradisi Tionghoa), Sang Penguasa
Kematian.
Kata seorang sipir,
“Yang Mulia, orang ini tak menghormati ayah dan ibu, petapa, brahmana, juga
tidak menghormati para sesepuh keluarganya. Jatuhkanlah hukuman setimpal
baginya.”
Sang Raja Yama
bertanya kepada sang pesakitan, “Tidakkah engkau lihat utusan dewa pertama yang
muncul?”
“Tidak, saya tidak melihatnya” kata orang tersebut.
“Pernahkah kau
lihat perempuan atau lelaki yang renta, bertubuh bungkuk, berpegangan pada
tongkat, gemetaran, sakit-sakitan, gigi ompong, beruban, kulit keriput dan
berborok?”
“Ya, saya pernah
melihatnya.”
“Wahai manusia,
tidakkah pernah terlintas olehmu, ‘Aku juga akan menjadi tua dan tak mampu
menghindarinya. Sekarang aku ingin melakukan perbuatan baik dengan tubuh,
ucapan dan pikiran.’”
“Tidak, saya lalai dan tidak melakukannya.”
“Engkau akan
diganjar sesuai dengan kelalaianmu. Engkau sendiri yang melakukan kejahatan dan
merasakan buahnya.”
“Lalu, tidakkah
engkau lihat utusan dewa kedua yang muncul?”
“Tidak, saya tidak melihatnya”
kata orang tersebut.
“Pernahkah kau
lihat perempuan atau lelaki yang sakit parah dan menderita, terbaring di atas
kotorannya sendiri, terpaksa diangkat sebagian orang dan diletakkan di
pembaringan?”
“Ya, saya pernah
melihatnya.”
“Wahai manusia,
tidakkah pernah terlintas olehmu, ‘Aku juga akan sakit dan tak mampu
mengelakkannya. Sekarang aku ingin melakukan perbuatan baik dengan tubuh,
ucapan dan pikiran.’” “
Tidak, saya lalai dan tidak melakukannya.”
“Karena lalai,
engkau akan diganjar sesuai dengan kelalaianmu. Engkau sendiri yang melakukan
kejahatan dan merasakan buahnya.”
“Dan, tidakkah
engkau lihat utusan dewa ketiga yang muncul?”
“Tidak, saya tidak melihatnya”
kata orang tersebut.
“Pernahkah kau
lihat perempuan atau lelaki yang telah mati satu, dua atau tiga hari, mayatnya
membengkak, berubah warna dan membusuk?”
“Ya, saya pernah
melihatnya.”
“Wahai manusia,
tidakkah pernah terlintas olehmu, ‘Aku juga akan mati dan tak mampu
mengelakkannya. Sekarang aku ingin melakukan perbuatan baik dengan tubuh,
ucapan dan pikiran.’”
“Tidak, saya lalai dan tidak melakukannya.”
“Karena lalai,
engkau akan diganjar sesuai dengan kelalaianmu. Perbuatan burukmu tidak
dilakukan ayah, ibu, saudara, atau pun sahabatmu. Namun engkau sendiri yang
melakukan kejahatan dan merasakan buahnya.”
Dalam sutta
tersebut telah jelas disampaikan, ada tiga hal yang pasti akan kita terima,
yaitu usia tua, sakit dan mati. Tiap manusia yang telah lahir, pasti akan antri
untuk mati. Cepat atau lambat. Bahkan seorang bayi pun, telah mengalami proses
penuaan. Setidaknya ia akan berkembang, menjadi kanak-kanak, remaja, dewasa
lalu menua. Meski kerap kita jumpai, tidak sedikit orang yang masih bayi,
anak-anak dan masih belia, telah meninggal dan berpindah alam. Ini adalah
realita hakiki, bahwa siapapun kelak akan mati.
Pertanyaannya,
“Sudahkah Anda telah persiapkan diri?”
Sepanjang
sejarah, tiap manusia mencoba mencari resep usia panjang. Di banyak kisah dalam
sejarah para kaisar Tiongkok, berebut tanah dan pencarian panjang obat untuk
hidup kekal. Namun, apa daya kuasa kematian tetap tak terkalahkan.
Zaman saat ini
pun yang kemajuan teknologi telah menyentuh segala bidang, tetap tak mampu
menghambat proses penuaan dan mencegah kematian. Meski secara kosmetik pun ada
istilah antiaging, tetep wajah berproses, mengerut, keriput, lalu nampak
jelek.
Di dunia
finansial, para ekonom mencoba menawarkan produk asuransi jiwa. Sesungguhnya,
kurang tepat menyebut Life Inssurance sebagai Asuransi Jiwa. Sebab bukan jiwa
dari Sang Pemegang Polis yang menerima guarantee/jaminan, sebab siapa pun
makhluk yang hidup kelak pasti akan mati. Melainkan memberikan sejumlah uang
kepada para orang yang dikasihinya, istri/suami yang ditinggalkan, anak atau
cucunya, untuk tetap dapat melanjutkan hidupnya. Dengan tidak kehilangan
seluruh sumber keuangan keluarga dari hasil claim Uang Pertanggungan Life
Inssurance tersebut, akibat meninggalnya seorang pencari nafkah keluarga.
Di dalam Dhamma,
Sang Buddha pun memberikan kiat praktis untuk bertahan hidup dalam menjadi
kehidupan selaku perumah tangga.
Sedikitnya, ada
Empat Hal yang diinginkan, diharapkan oleh semua orang, namun sulit untuk
diperoleh. Yaitu memiliki harta kekayaan, kesehatan, usia panjang, dan bila
mati akan masuk surga.
Dalam hal ini,
Sang Buddha tidak pernah mencegah umatNya untuk bekerja dan mencari kekayaan,
selama kekayaan tersebut dicari dengan cara halal, baik dan benar.
Ada lima alasan,
seseorang perumah tangga memiliki kekayaan.
1) Dengan kekeyaan tersebut, ia dapat
membahagiakan dirinya sendiri. Dengan mempertahankan kebahagiaan tersebut, ia
membahagiakan orangtuanya, isteri dan anak-anaknya, para pelayannya, dan para
pekerjanya.
2) Dengan kekayaannya, ia dapat membuat
teman-teman dan rekan-rekannya berbahagia.
3) Dengan kekayaannya, ia membuat dirinya
sendiri aman terhadap bahaya/musibah yang mungkin timbul seperti oleh api, air,
raja, perampok, dan ahli waris yang salah.
4) Ia dapat membuat persembahan rangkap
lima, kepada a) sanak keluarganya, b) para tamunya, c) leluhur (yang telah
meninggal), d) raja (pemerintah, negara melalui pajak), e) para dewa.
Di dalam Anguttara
Nikaya 4: 62, kepada murid perumahtangga-Nya yang terkenal Anathapindika, Sang
Buddha menyebutkan ada Empat Jenis Kebahagiaan yang bisa dicapai dalam
kehidupan duniawi ini, yaitu :
1)
Kebahagiaan karena memiliki
2)
Kebahagiaan karena menikmati
3)
Kebahagiaan karena bebas dari hutang
4)
Kebahagiaan karena tiada cela.
Dan kebahagiaan
keempat tersebut melebihi dari ketiga sebelumnya digabung menjadi satu.
Lebih lanjut, kepada
Vyagghapajja, Sang Buddha memberikan wejangan bahwa ada empat hal yang dapat
mendatangkan kesejahteraan dan kebahagiaan tersebut dengan cara :
1.
Memiliki ketekunan (Utthanasampada)
2.
Memiliki kewaspadaan (Arakkhasampada)
3.
Memiliki sahabat sejati (Kalyanamittata)
4.
Kehidupan yang seimbang (Samajivita)
Sang Buddha
menyebutkan “Jivitam aniatam, Maranam niatam” yang artinya Kehidupan tidaklah
pasti, Kematianlah yang pasti.
Oleh sebab itu,
jangan pernah menyia-siakan hidup sebagai manusia. Selaku perumah tangga pun,
kita dapat memunculkan kemendesakan spiritual (samvega) untuk melakukan
berbagai upaya bajik dalam rangka mengumpulkan kebajikan...hingga ujungnya
merealisasi cita-cita paling akhir, yaitu kebebasan sempurna.
VKM, 26 Juli
2015
No comments:
Post a Comment