Di antara semua jalan,
maka Jalan Mulia Berfaktor Delapan adalah yang terbaik; di antara semua
kebenaran, maka Empat Kebenaran Mulia adalah yang terbaik.
~ Dhammapada XX : 273
Tak dapat dipungkiri, umat
Buddha Indonesia menghadapi kerancuan pandangan akan banyaknya tradisi atau
budaya yang telah melebur, bercampur dan sinkretis dengan Buddha Dhamma.
Sehingga tak heran bilamana beberapa umat yang galau tersebut mempertanyakan
manakah Dhamma yang benar itu? Dan mana yang bukan Dhamma?
Salah satunya kerancuan
akan pandangan mengenai telah datangnya Buddha akan datang, Buddha Metteya.
Bahkan ada catatan yang menyebutkan pada tanggal 1 Agustus 1943 (Ref. Majalah
Dhammacakka No. 43/XII/Agustus-Oktober 2006 artikel berjudul Kerancuan
Pandangan hal. 12). Padahal kita semua tahu bahwa Ajaran Buddha Gotama masih
eksis dan lengkap, yang tertuang di dalam Tipitaka.
Pandangan berikutnya, dari
BBM seorang teman yang mempertanyakan apakah je it dan cap go (tiap tgl 1 dan
15 penanggalan lunar), umat Buddha wajib melakukan cia cai (vegetarian)?
Saya menjawab, bila ia
terbiasa cia cai, silakan. Bila tidak, jangan dipaksa!
Di dalam Dhamma, Sang Buddha tidak pernah mempermasalahkan umat-Nya untuk bervegetarian.
Bila umat Buddha Mahayana
cukup ketat untuk menghimbau untuk veggie, itu baik. Dengan pemahaman untuk
berlatih welas asih pada semua makhluk. Dan demi pola hidup sehat. Tapi, bukan
berarti yang bukan veggie itu buruk dan salah, atau telah melanggar sila.
Vegetarian tidak menjadikan
seseorang menjadi suci dan murni. Di dalam Amagandha Sutta, Sang Buddha
berkata:
Bukan daging, atau
berpuasa, atau bertelanjang,
Bukan kepala tercukur,
atau rambut kusut, atau kotor,
Bukan kulit yang kasar, atau
pemujaan api,
Bukan semua pengampunan
dosa di dunia ini,
Bukan kidung, atau
pengorbanan,
Bukan pesta musiman,
Yang akan memurnikan seseorang yang dikuasai keragu-raguan.
Di dalam Majjhima Nikaya I: 369, Sang Buddha mendapat pertanyaan dari Jivaka Komarabhacca berikut, “Yang
Mulia, saya telah mendengar bahwa bahwa hewan sengaja dibantai untuk petapa
Gotama, dan bahwa petapa Gotama secara sadar makan daging yang sengaja dibunuh
untuk-Nya. Yang Mulia, apakah mereka yang berkata demikian memberikan tuduhan
palsu kepada Sang Buddha? Atau apakah mereka mengatakan yang sebenarnya? Apakah
pernyataan tambahan Anda tidak diejek oleh orang lain dengan segala cara?”
“Mereka yang berkata
demikian, tidak berkata sesuai dengan apa yang telah Aku nyatakan dan mereka memberi
tuduhan palsu kepada-Ku. Jivaka, Aku telah menyatakan bahwa seseorang tidak
boleh menggunakan daging jika terlihat, terdengar, dan dicurigai telah sengaja
dibunuh untuk seorang bhikkhu. Aku mengiizinkan para bhikkhu makan daging yang
cukup murni dalam tiga hal: jika daging itu tidak terlihat, terdengar, dan
dicurigai telah sengaja dibunuh untuk seorang bhikkhu.”
Jadi jelas di sini, Sang
Buddha menyatakan bahwa bukanlah apa yang masuk ke dalam mulut seseorang yang
mengotori, melainkan apa yang keluar dari mulutnya. Tujuan belajar Dhamma
adalah mengurangi ketamakan, bukan pada jenis makanan yang dikonsumsinya.
Walau demikian, Sang
Buddha menganjurkan para bhikkhu untuk menghindari memakan sepuluh jenis daging
untuk kehormatan dan perlindungan diri mereka. Jenis daging tersebut antara
lain: manusia, gajah, kuda, anjing, ular, singa, harimau, macan tutul,
beruang, dan hyena. Beberapa hewan menyerang orang jika mereka mencium daging
jenis mereka. (Vinaya Pitaka)
Kesalahan pandangan yang
lain, adalah menganggap beberapa tradisi dan budaya leluhur sebagai Dhamma.
Pada hari ini, umat
keturunan Thionghoa merayakan Perayaan Tiong Ciu, yang tepat pada peh gwee cap
go atau tanggal 15 bulan 8 penanggalan lunar. Sesungguhnya mereka merayakan
perayaan tengah musim gugur. Mereka berkumpul pada tengah malam untuk melihat
malam bulan purnama, yang konon termasuk yang paling bulat, paling besar dan
paling indah sepanjang tahun. Para remaja, muda-mudi yang belum berpasangan
mencari jodoh dalam perayaan tersebut. Ladang untuk mencari jodoh.
Andai mereka mau menilik
latar sejarah di baliknya, bahwa kisah Tiong Ciu adalah kisah percemburuan Dewi
Chang E kepada suaminya yang hidung belang Hou Yi. Yang terkenal karena telah
memanah 9 matahari yang ketika itu bumi ini dikelilingi oleh sepuluh matahari.
Panas sekali, banyak hewan mati kepanasan, dan tumbuhan tak dapat tumbuh.
Singkat cerita, karena rasa sesalnya Hou Yi karena kedapatan selingkuh, ia
berniat untuk mendapatkan pil keabadian. Suatu ketika, Chang E menelan sendiri
pil tersebut, hingga ia terbang ke langit, namun karena tidak diterima Raja
Langit, ia terbang ke bulan. Untuk mengungkapkan rasa rindunya, Hou Yi membuat
kue bulan untuk berharap Chang E kembali kepadanya.
Sungguh rada aneh ya,
kisah perselingkuhan dan rasa cemburu, berkembang menjadi perayaan mencari
jodoh?
Namun, bila umat merayakan
tradisi dan budaya tersebut, silakan?! Sang Buddha tidak pernah menolak dan
melarang umat-Nya untuk merayakan tradisi leluhur selama hal tersebut tidak
merugikan dirinya sendiri dan orang lain.
Ada kisah lain tentang
tradisi. Bila bulan lalu, umat Buddha mengadakan upacara pattidana, umat Buddha
Mahayana dan kaum Tionghoa pada umumnya mengadakan ulambana. Salah satunya
melakukan pembakaran kertas sembahyang, yang disebut Kim Cua (kertas emas) dan
Gin Cua (kertas perak) untuk upacara sembahyang kepada leluhur dan para arwah
yang telah meninggal. Apakah hal itu salah? Kembali dalam Ajaran Buddha tidak
pernah melarang praktik tradisi leluhur. Hal ini dapat diambil hikmahnya, yaitu
bakti kepada orangtua dan para leluhur.
Namun, alangkah baiknya
bila kita kembali menilik akar sejarahnya.
Alkisah, seorang kaisar
dari dinasti Tang yang amat bijak, berpura-pura mati selama tiga hari. Ketika
disemayamkan oleh para keluarga kerajaan, ia terbangun. Dan saat bangun, kepada
hulu balang kerajaan, ia mengatakan mendapat visi/pandangan dalam masa mati
surinya. Beliau menghimbau kepada keturunan dan sanak keluarganya, yang kelak
diikuti oleh para rakyatnya untuk membakar kertas emas dan perak untuk
menghormati para leluhur yang telah meninggal, yang mungkin terlahir di alam
menderita.
Tahukah Anda, usut demi
usut, ternyata ini adalah siasat politik Sang Kaisar yang bijak yang tahu betul
bahwa kerajaannya tidak semuanya subur dan makmur. Ada daerah tertentu yang
tandus dan gersang, dan hanya tumbuh pohon bambu untuk pembuat kertas pada
waktu itu. Sehingga yang semula terjadi kesenjangan ekonomi di kerajaannya,
kini dengan produksi massal pembuatan kertas sembahyang, maka para kaum miskin
tersebut memiliki lapangan pekerjaan.
Namun, kini setelah sekian
ratus tahun kemudian, pihak yang produksi bukan cuma penduduk miskin, melainkan
diproduksi oleh orang-orang kaya pemilik pabrik kertas... hehehe...
Di dalam Mahaparinibbana
Sutta, mendengar desas-desus perbincangan para bhikkhu, Bhante Ananda galau dan
gundah gulana bila Sang Guru akan meninggal dunia atau parinibbana, siapakah
kelak yang akan memimpin Sangha. Sang Buddha berkata, “Ada
kemungkinan, bahwa di antara kalian ada yang berpikir: `Berakhirlah kata-kata
Sang Guru; kita tidak mempunyai seorang Guru lagi.` Tetapi, Ananda, hendaknya
tidak berpikir demikian. Sebab apa yang telah Aku ajarkan sebagai Dhamma dan
Vinaya, Ananda, itulah kelak yang menjadi Guru-mu, ketika Aku pergi.”
Dengan memiliki pandangan
yang benar, kita dapat menjadikan Dhamma dan Vinaya sebagai perlindungan dan acuan
jalan hidup kita dalam mengarungi arus samsara. Dengan memiliki pandangan pada
Empat Kebenaran Mulia, bahwa ada dukkha; ada asal mula dari dukkha; ada akhir
dari dukkha; dan sungguh melegakan bahwa ada jalan untuk mengakhiri dukkha.
(Dhp 188-192)
Akhir kata, saya mengutip
dari Samyutta Nikaya 19, Satipatthana Sutta; “Dengan melindungi diri sendiri,
kita akan melindungi orang lain. Dengan melindungi orang lain, kita akan
melindungi diri sendiri.”
“Dan bagaimana seseorang,
dengan melindungi diri sendiri, juga akan melindungi orang lain? Dengan
pengulangan dan praktik meditasi terus-menerus.”
“Dan bagaimana seseorang,
dengan melindungi orang lain, juga akan melindungi diri sendiri? Dengan
kesabaran dan menahan diri, dengan hidup tanpa kejahatan dan tak membahayakan,
dengan cinta kasih dan belas kasih.”
(VKM, 27 Sept 2015)
No comments:
Post a Comment