Melepas Dukkha
Menuai Merdeka.
Melepas
Kemelekatan Menggapai Bahagia.
Diṭṭhiñca
anupagamma Sīlavā dassanena sampanno
Kāmesu vineyya gedhaṁ Nahi jātu gabbhaseyyaṁ punaretīti.
Ia yang mengembangkan
mettā, tak berpandangan salah,
teguh dalam sīla dan
berpengetahuan sempurna,
dan melenyapkan kesenangan
nafsu indria,
tak akan lahir dalam rahim
lagi.
Romo-Ramani, Ibu-Bapak,
Saudara-saudari se_Dhamma yang berbahagia,
Salam Buddhist dari saya,
Namo Buddhaya…
Kebetulan hari ini, tepat
bangsa ini merayakan hari kemerdekaannya yang ke-69. Maka kiranya, izinkan saya
mengutip salah satu pidato dari Bapak Pendiri Negara ini, Bung Karno pada
peringatan kemerdekaan keVI berikut :
“Hukum dan Moral”
Seorang penulis berkata,
mempelajari sejarah adalah omong kosong, “History Bunk”, katanya. Penulis ini
tidak benar. Sejarah adalah berguna sekali. Dari mempelajari sejarah orang bisa
menemukan hukum-hukum yang menguasai kehidupan manusia. Salah satu hukum itu
adalah : bahwa tidak ada bangsa bisa menjadi besar dan makmur tanpa kerja. Terbukti
dalam sejarah segala zaman, bahwa kebesaran bangsa dan kemakmuran tidak pernah
jatuh gratis dari langit. Kebesaran bangsa dan kemakmuran selalu “kristalisasi”
keringat. Ini adalah hukum, yang kita temukan dari mempelajari
sejarah.
Bangsa Indonesia, petiklah
moral dari hukum ini!
Banyak pelajaran yang
dapat kita petik hikmahnya dan masih update hingga kini, antara lain tiada
keberhasilan tanpa keringat, tidak da yang jatuh dari langit. Dan selalu pesan
dari Bung Karno adalah Jas Merah, Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah!
Timbul pertanyaan kini : Apakah
kita sudah merdeka?
Secara yuridis, Negara
Kesatuan Republik Indonesia ini telah diakui oleh dunia. Meski berbagai bangsa
Eropa, khususnya penjajah Belanda baru mengakui kemerdekaan kita pada 27
Desember 1949. (Pada Konferensi Meja Bundar).
Sedikit mengingat
peristiwa jelang Pilpres 2014 lalu, pada acara Mata Najwa di Metro TV, Presiden
Terpilih Bapak Joko Widodo (ketika itu capres) mendapat pertanyaan dari sang
host Najwa Shihab, “Apa yang kelak Bapak perjuangkan selaku Presiden RI demi Palestina
yang kini diserang oleh kekuatan militer Israel?”
Beliau menjawab, “Di dalam
konstitusi kita UUD’45 jelas, bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Oleh
sebab itu, kami akan mendukung Negara Palestina untuk meraih kemerdekaannya.”
Bahkan beberapa pengamat
politik akhir-akhir ini, menilai dan memberikan pengharapan, bahwa presiden
terpilih adalah presiden yang lahir dari perjuangan HAM dan bebas dari
permasalah HAM, ketika Bapak Jokowi menyusun pemerintahan di rumah transisinya.
HAM (Hak Asasi Manusia),
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah:
“Hak yang dilindungi
secara internasional (yaitu deklarasi PBB, Declaration of Human Rights), yaitu
Hak untuk Hidup, Hak Kemerdekaan, Hak untuk Memiliki, Hak untuk Mengeluarkan
Pendapat.”
Di dunia ini, perjuangan
HAM bukanlah barang baru. Semenjak tahun 1215 (15 Juni) di Inggris dengan Magna
Charta-nya, untuk menggulingkan Raja John yang memiliki kuasa absolute.
Kemudian, Bill of Rights 1689 masih di Inggris, di mana ditetapkan manusia
semua sama di muka hukum (equality before the law), sehingga menimbulkan negara
hukum dan demokrasi semenjak itu. Muncullah banyak pemikir di Eropa. Dari JJ.
Roesseau yang mengeluarkan teorinya, the contract social/perjanjian masyarakat.
Montesquie dengan Trias Politica-nya. John Locke di Inggris, yang menganggap
HAM sebagai hak kodrati pemberian dari Tuhan, hingga Thomas Jefferson di AS
yang meletakkan hak-hak dasar kebebasan dan persamaan yang tertuang di piagam
kemerdekaan, The American Declaration of Independence (4 Juli 1776).
Selanjutnya pada tahun
1789 lahirlah The French Declaration, yang melahirkan The Rule of Law. Antara
lain dinyatakan, tidak boleh ada penangkapan semena-mena, termasuk ditangkap
tanpa alasan dan surat perintah. Dinyatakan Presumption
of Innocence, artinya orang-orang yang ditangkap kemudian dituduh, berhak
dinyatakan tidak bersalah sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap yang menyatakan ia bersalah. Dipertegas juga dengan Freedom of Expression (kebebasan
mengeluarkan pendapat), Freedom of
Religion (kebebasan menganut keyakinan/agama yang dikehendaki), dan The Right of Property (perlindungan
terhadap hak milik). Setelah PD II, setelah kebengisan Hitler dan NAZI-nya,
maka PBB pada 10 Des 1948 mengeluarkan The Universal Declaration of Human
Rights.
Deklarasi HAM sedunia itu
mengandung makna ganda. Ke luar adalah berupa komitmen untuk saling menghormati
dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan antar Negara-bangsa, agar
terhindar dan terjerumus lagi dalam malapetaka peperangan yang dapat
menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Makna ke dalam harus menjadi criteria
objektif oleh rakyat dari masing-masing Negara dalam menilai setiap kebijakan
yang dikeluarkan oleh pemerintahnya.
Kembali lagi, berdasarkan
pengertian HAM di atas, apakah benar kita memilik hak untuk hidup? Hak merdeka?
Hak memiliki? Dan hak mengeluarkan pendapat?
Hak mengeluarkan pendapat?
Sejak era reformasi, dunia
pers tampak begitu bebas hingga keblinger dalam mewartakan berita. Bahkan
terkadang mengumbar kehidupan pribadi seorang public figure ke khalayak ramai.
Akhir-akhir ini pun, media tanpa segan dan secara objektif memberikan
“kebenaran” sepihak demi kepentingan suatu elit tertentu, organisasi atau pun
partai memberikan dukungan tanpa etis.
Hak memiliki?
Di dalam Dhamma, kita
diajarkan Sang Guru yang disebut Ditta Dhammi Kattha 4. Antara lain, utthana
sampada, arakkha sampada, kalyanamittata, dan samajivita. Setelah dengan rajin
dan semangat memperoleh hasil kerja dengan keringat sendiri, seseorang perlu
memiliki kehati-hatian menjaga hartanya. Serta dianjurkan memiliki sahabat yang
baik dan hidup seimbang sesuai penghasilannya.
Namun, yang terjadi.
Setelah terpicu era reformasi yang masih memiliki alur yang kabur dan semrawut,
yang terkendali oleh informasi yang hiperbolis menimbulkan suatu kelas menengah
yang hedonis dan konsumtif. Dan menimbulkan perlombaan gegayaan dan menebar iri
dengki.
Masih ingat iklan rokok,
Rumput tetangga lebih hijau dari rumput di tamanmu sendiri (yang ternyata
rumput tetangga imitasi…hehe)???
Hak merdeka?
Merdeka memiliki keyakinan
sesuai agama yang diyakininya masing-masing. (seperti termaktub dalam UUD’45
pasal 29 ayat 1)
Merdeka memiliki keamanan
selaku warga Negara (UUD’45 pasal 30 ayat 1)
Merdeka untuk memiliki pendidikan
setinggi dan semampunya (UUD’45 pasal 31 ayat 1)
Namun, kini kita mendengar
berita yang miris bahwa organisasi teroris radikal bernama ISIS mulai merasuk
ke sendi-sendi bangsa ini. Di mana organisasi ini menggunakan berbagai macam
cara untuk melegalisasi segala bentuk kekerasan untuk mancapai visi tujuannya.
Di dalam sejarah peradaban
yang tercatat, mungkin hanya Sang Buddha yang pergi ke medan perang, bukan
dengan mengangkat senjata melainkan mencegah perang meletus. (Kisah perebutan
Sungai Rohini antara suku Sakya dan Koliya).
Akhir-akhir ini, kita pun
mendengar tuntutan dari para orang tua/wali siswa untuk pendidikan gratis yang
dislogankan para pejabat yang tak kunjung terealisasi. Asumsinya mereka
mengeluarkan biaya 3,6juta/tahun yang semestinya free biaya sekolah. (mohon
dimaklumi bila itu adalah sekolah negeri. Bila swasta, bagaimana sebuah
yayasan/organisasi sekolah memberikan infrastruktur yang layak bagi anak didik
dan bagaimana mereka menghidupi para pengajarnya? Tentu tidak dapat digenerallisasi)
Hak untuk hidup?
Saya berbagi 2 kisah nyata
berikut :
Pertama, kasus Gammy. Bayi
warga Negara Australia yang mengalami down syndrome, dan kasus klinik IVF (In
Vitro Fertilisation). Di mana pemerintah Thailand menetapkan kebijakan menutup klinik-klinik
tersebut yang menyediakan jasa ibu pengganti atau rahim pinjaman. Namun, pihak
pemerintahan Australia berupaya untuk mencegah atau minimal mengundurkan
kebijakan tersebut agar para bayi terlahir terlebih dahulu.
Kedua, tahukah Anda?
Terdapat pernyataan tragis dan mencengangkan, sang ibunda megabintang sepakbola
dunia, Christiano Ronaldo hampir saja melakukan aborsi terhadap sang jabang
bayi yang tak dikehendaki. Bila itu terjadi, mungkin para pecinta olahraga
paling tenar sejagat ini tidak akan mengenal sosok pemain terbaik 2008 dan 2013
tersebut.
Semua yang saya sharingkan
di atas, di dalam Dhamma disebut Dukkha Ariya Sacca.
Segala yang terkondisi dan
perpaduan mengandung dukkha.
Segalanya tak terhindar
dari 4pasang angin perubahan, yaitu suka-duka, tenar-terkucil, untung-rugi,
dipuji-dicela.
Penderitaan biasa
(Dukkha-Dukkha), penderitaan karena perubahan (Viparinama-Dukkha), penderitaan
karena memiliki badan jasmani (Sankhara-Dukkha)
Dan segala dukkha tersebut
ada penyebabnya. Dukkha Samudaya.
Bahwa penyebab utama
permasalahan dan segala penderitaan manusia adalah nafsu mementingkan diri yang
bercokol kuat di dalam batin kita. Buddha mengungkapkan bahwa terdapat tiga
jenis kekuatan nafsu dalam batin kita, yaitu nafsu untuk pemuasan indrawi (kama
tanha), nafsu untuk eksis (bhava tanha) dan nafsu untuk tidak eksis (vibhava
tanha).
Para filsuf dan psikolog
terkenal di dunia telah menjelaskan ketiga kekuatan ini, dengan istilah yang
berbeda. Penulis Jerman, Arthur Schopenhauer, menyebutnya sebagai seksualitas,
pertahanan diri dan bunuh diri. Psikolog Austria, Sigmund Freud, menjelaskannya
sebagai berahi, naluri ego dan naluri kematian.
Masih hangat dalam ingatan
kita, karena depresi hebat seorang comedian dan actor watak ternama, Robin
Williams meninggal karena gantung diri. Seorang seniman terbesar abad ini,
Michael Jackson pun tak dapat lepas dari kecanduan obat tidur.
Pesan dari YM Bhante
Uttamo, “ketika keinginan lebih besar dari kebutuhan, timbul rasa stress,
depresi, dukkha. Maka dari itu, hendaknya kita dapat mengendalikan keinginan
selaras dengan kebutuhan kita.”
Adalah kenyataan bahwa
kita harus menghadapi masalah demi masalah sepanjang hidup kita, dan tidak ada
cara untuk menghindarinya. Misalnya, kita tidak bisa menghindar dari penyakit,
penuaan dan kematian.
Di dalam Dhamma, kita
hendaknya kerap kali melakukan perenungan (abhinhapaccavekkhana) yang juga
tertuang dalam Anguttara Nikaya V.
“Bahwa kita belum bebas
dari usia tua, penyakit dan kematian. Oleh sebab itu, hendaknya kita tidak
menyombongkan diri/angkuh terhadap kemudaan, kesehatan dan masa hidup kita.
Serta berbagai bentukan
adalah tidak kekal, sehingga wajar untuk terpisah dari kita.
Oleh sebab itu, hendaknya
kita perlu memiliki keseimbangan batin, dengan merenungi bahwa segala sesuatu
baik atau pun buruk adalah memiliki karma perbuatannya masing-masing.”
Terlepas dari itu,
sebagian permasalahan diciptakan oleh manusia itu sendiri berdasarkan pemahaman
duniawi mereka terhadap kehidupan. Sebagian masalah diciptakan oleh pikiran,
yang disebabkan oleh khayalan, kegelapan batin, kecurigaan dan ketakutan.
Dengan melanggar cara hidup yang etis, manusia mengusik kedamaian dan
kebahagiaannya sendiri maupun orang lain.
Di dalam Ajaran Buddha,
kita dibekali “doa”/pengharapan di paritta suci, yaitu brahmavihara. Alih-alih
pengharapan semu, secara aktif kita memancarkan metta/cinta kasih, sebelum ke
arah luar, kita memancarkan ke dalam diri sendiri terlebih dahulu, yaitu dengan berharap semoga
kita berbahagia, gimana agar bahagia? Yaitu semoga kita bebas dari penderitaan,
bebas dari kebencian yang disebabkan karena mendengki, bebas dari kebencian dan
ingin menyakiti, bebas dari kesukaran.
Dalam Samyutta Nikaya
47:19, dengan memberikan perumpamaan ahli acrobat dan gurunya untuk saling melindungi
dengan cara mereka melindungi diri sendiri masing-masing, agar dapat saling
menjaga dan melindungi.
Logikanya, bilamana kita
tidak dapat menjaga batin ini dengan sila yang memadai, bukan hanya kita
menciderai batin ini dengan kilesa/kekotoran, juga menyebabkan ketidakamanan
bagi orang-orang di lingkungan kita akibat kita abai terhadap etika.
Selain sila, kita dapat
mengembangkan batin dengan Samadhi. Lebih dalam lagi, kita dapat menjalankan
perenungan terhadap nama-rupa. Seperti termaktub dalam Phenapindupama Sutta
dari Samyutta Nikaya, yang menjelaskan:
“Tubuh jasmani seperti
buih air di dalam arus sungai, perasaan seperti gelembung air, pencerapan
seperti fatamorgana, bentuk-bentuk pikiran seperti batang pohon pisang dan
kesadaran seperti ilusi dalam pertunjukan sulap.”
Dengan Samadhi yang dalam,
maka akan timbul kebijaksanaan. Menyadari realita hakiki bahwa karena terjebak
dalam kemelekatan terhadap batin-jasmani yang hanya ilusi belaka seperti dalam
sutta di atas, kita terus terbelenggu oleh rantai samsara.
(Di dalam hukum sebab
musabab yang saling bergantungan, kita dapat melepas upadana/kemelekatan, yaitu
dengan mencegah tanha/nafsu keinginan, yang disebabkan oleh vedana/perasaan
sukha ataupun dukkha)
Singkat cerita, sebuah
kemerdekaan di dalam Dhamma, adalah merdeka dari segala bentuk kesesatan batin,
nafsu serakah dan amarah kebencian. Hal ini karena lemahnya kesadaran kita
terhadap fakta akan anicca, dukkha dan anatta.
Semoga esensi dari
Dhammadesana ini bermanfaat bagi para pendengar.
Semoga berkat jasa-jasa
kebajikan yang diperbuat, para pendiri bangsa, para pahlawan yang telah
merenggang nyawa demi terwujudnya Indonesia merdeka berbahagia di alam-alam
yang baik
Semoga para leluhur yang telah meninggal baik di kehidupan saat ini maupun di kehidupan yang lampau, yang memiliki hubungan karma dengan kita berbahagia di alam-alam berbahagia
Semoga semua makhluk hidup
berbahagia
Sabbe satta bhavantu
sukhitata
Sadhu sadhu sadhu
Mettacittena,
Sudhammayano Aldo Sinatra
Penceramah: Sudhammayano Aldo Sinatra (Minggu, 17 Agustus 2014)
Resume ceramah oleh Aldo Sinatra
Dimuat sesuai naskah asli tanpa proses edit.