Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammãsambuddhassa
Kiccho manussapaṭilābho
Kicchaṁ maccāna jīvitaṁ
Kicchaṁ saddhammasavanaṁ
Kiccho buddhānaṁ uppādo (Dhp 182)
Kiccho manussapaṭilābho
Sungguh sulit untuk dapat dilahirkan sebagai manusia
Perumpamaan Penyu dan Gelang pada Samyutta Nikāya 56.48
“Para
Bhikkhu, seandainya seluruh permukaan bumi ini tertutupi air. Kemudian
seseorang melempar sebuah gelang. Gelang itu terhempas dari Timur ke
Barat, Barat ke Timur. Utara ke Selatan, dan Selatan ke Utara. Kemudian
ada seekor penyu membuta yang hanya muncul 100 tahun sekali ke
permukaan. Akankah penyu buta itu dapat memasukkan gelang itu ke
lehernya?”
“Bhante, sungguh sulit bagi penyu buta itu memasukkan gelang ke lehernya.”
“Demikian pula, sungguh sulit terlahir sebagai manusia. Sungguh sulit munculnya Tathagata, Arahat, Yang Mencapai Pencerahan Sempurna. Sungguh langka Dhamma dan Vinaya yang dibabarkan oleh Tathagata.
Kini kelahiran sebagai manusia telah didapat, Tathagata telah muncul di dunia, Dhamma dan Vinaya telah sempurna dibabarkan oleh Tathagata.
Tugas kalian adalah mengembangkan batin dengan perenungan Dukkha, Sumber Dukkha, Akhir Dukkha, dan Jalan Menuju Akhir dari Dukkha.”
Kicchaṁ maccāna jīvitaṁ
Sungguh sulit Kehidupan Manusia
- Akibat kelahiran (jāti),
maka telah menjadi konsekuensi logis manusia akan mengalami rasa sakit,
usia tua, kematian, penderitaan, penyesalan, kegetiran, kesedihan dan
kekecewaan.
- Atthalokadhamma / Delapan Kondisi Duniawi.
Untung (lābha) – Rugi (alābha),
Tenar (yasa) – Tidak Tenar (ayasa),
Dipuji (pasamsa) – Dicela (nindā),
Bahagia (sukha) – Menderita (dukha).
Oh
Atula, hal itu telah ada sejak dahulu dan bukan baru ada sekarang saja,
di mana-mana orang yang duduk diam dicela, orang yang banyak bicara,
orang yang sedikit bicara juga dicela. Tak ada seorang pun di dunia ini
yang tak pernah dicela.
Tidak
pada zaman dahulu, waktu yang akan datang ataupun waktu sekarang, dapat
ditemukan seseorang yang selalu dicela maupun yang selalu dipuji.
(Dhammapada 227-228)
Kicchaṁ saddhammasavanaṁ
Sungguh sulit untuk dapat mendengarkan Ajaran Benar.
Di dalam Atthaka Nipāta dari Aήgutara Nikāya
menjelaskan delapan waktu kehidupan dalam yang disebut sebagai “waktu
yang salah (waktu yang tidak menguntungkan)” atau “kehidupan yang tidak
beruntung”.
Delapan kehidupan yang tidak beruntung adalah:
- Kehidupan di alam yang terus menerus mengalami penderitaan (Niraya);
ini tidak menguntungkan karena makhluk-makhluk di alam ini tidak dapat
melakukan kebajikan karena mengalami penderitaan dan siksaan terus
menerus.
- Kehidupan di alam binatang; ini tidak menguntungkan
karena makhluk-makhluk di alam ini selalu ketakutan sehingga tidak dapat
melakukan kebajikan dan tidak dalam posisi yang dapat mengenali
kebajikan dan kejahatan.
- Kehidupan di alam peta; ini tidak
menguntungkan karena makhluk-makhluk di alam ini tidak dapat melakukan
kebajikan karena selalu merasakan kepanasan dan kekeringan, dan
menderita kelaparan dan kehausan terus menerus.
- Kehidupan di alam Brahmā yang tidak mengalami kesadaran (asaññāsatta-bhūmi);
ini tidak menguntungkan karena makhluk-makhluk di alam ini tidak dapat
mendengarkan Dhamma karena tidak memiliki indera pendengaran.
- Kehidupan
di wilayah seberang dunia; ini tidak menguntungkan karena
makhluk-makhluk di wilayah tersebut tidak dapat dikunjungi oleh para
bhikkhu, bhikkhuni, dan siswa-siswa Buddha lainnya; ini adalah tempat
bagi mereka yang memiliki tingkat kecerdasan yang rendah;
makhluk-makhluk di sana tidak dapat mendengarkan Dhamma meskipun mereka
memiliki indera pendengaran.
- Kehidupan di mana seseorang
menganut pandangan salah; ini tidak menguntungkan karena seseorang yang
memiliki pandangan salah tidak dapat mendengar dan mempraktikkan Dhamma
meskipun ia hidup di Wilayah Tengah tempat munculnya Buddha dan gema
Dhamma Buddha berkumandang di seluruh negeri.
- Terlahir dengan
indera yang cacat; ini tidak menguntungkan karena sebagai akibat
perbuatan buruk yang dilakukan di kehidupan lampaunya, kesadaran
kelahirannya tidak memilki tiga akar yang baik, yaitu :
ketidakserakahan, ketidakbencian, dan ketidakbodohan (ahetuka-patisandhika);
oleh karena itu ia memiliki indra yang cacat seperti penglihatan,
pendengaran, dan lain-lain. Dan dengan demikian tidak dapat melihat
seorang Buddha dan mendengarkan atau mempraktikkan Ajaran-Nya meskipun
ia terlahir di Wilayah Tengah dan tidak menganut pandangan salah.
- Kehidupan
di mana tidak ada kemunculan Buddha; ini tidak menguntungkan karena
pada saat itu seseorang tidak dapat berusaha mempraktikkan Tiga Latihan
moralitas (sīla), konsentrasi pikiran (samādhi) dan kebijaksanaan (paññā)
meskipun ia terlahir di Wilayah Tengah, memiliki indra yang baik dan
menganut pandangan benar yaitu percaya akan hukum kamma.
Kiccho buddhānaṁ uppādo
Sungguh sulit munculnya seorang Buddha.
Tidak seperti delapan kehidupan yang tidak menguntungkan ini (akkhana), ada kehidupan kesembilan yang menguntungkan yang disebut Buddh’uppāda-navamakkhana karena dalam kehidupan ini, muncul seorang Buddha.
Di dalam Eka-nipata dari Aήgutara Nikāya:
Ekapuggalassa bhikkhave pātubhāvo dullabo lokasmiṁ,
katamassa ekapuggalassa, Tathāgatassa Arahato Sammāsambuddhassa,
imassa kho bhikkhave ekapuggalassa pātubhāvo dullabho lokasmiṁ.
“Bhikkhu,
dalam dunia kemunculan satu makhluk adalah sangat jarang; Kemunculan
makhluk apakah? Tathāgata, yang layak menerima penghormatan tertinggi
dan yang mengetahui Kebenaran dengan Pencerahan Sempurna; Kemunculannya
adalah sangat jarang terjadi.”
Anāthapindika
_ seorang hartawan yang kelak menyumbangkan Vihāra Jetavana _ dalam
suatu kunjungannya ke Rājagaha, ketika ia bertemu dengan Buddha pertama
kalinya, mendengar kata “Buddha” dari saudara iparnya yang juga kayaraya
di Rājagaha. Ia berseru, “Ghoso’pi kho eso gahapati dullabho lokasmiṁ yadidaṁ ‘buddho buddho’ti”, artinya “Teman, jarang sekali mendengar kata ‘Buddha, Buddha’ di dunia ini.”
Ketika
Buddha berdiam di Kota Āpana di Negeri Aήguttarāpa, seorang guru
brahmana bernama Sela, mendengar kata “Buddha” dari Keniya _ pertapa
berambut kasar. Begitu ia mendengarkata “Buddha” ia berpikir “Ghoso’pi kho eso dullabho lokasmiṁ yadidaṁ ‘buddho buddho’ti”
artinya “Jarang sekali mendengar kata ‘Buddha, Buddha’ di dunia ini.”
Tidak lama kemudian, ia bersama tiga ratus pengikutnya, menjadi ehi-bhikkhu dan tujuh hari kemudian mereka mencapai tingkat kesucian Arahatta.
Untuk menerima ramalan pencapaian Pencerahan Sempurna, tahap pengembangan petapa Sumedhā memiliki delapan faktor berikut:
- Ia adalah manusia.
- Ia adalah laki-laki.
- Telah memenuhi semua persyaratan untuk menjadi Arahatta dalam kehidupan itu juga.
- Bertemu dengan Buddha hidup.
- Ia adalah petapa yang percaya akan Hukum Kamma (Kammavādī) atau pernah menjadi anggota sangha dalam masa kehidupan seorang Buddha.
- Telah mencapai jhana dan kemampuan batin tinggi.
- Berusaha keras untuk mengembangkan kesempurnaan tanpa memedulikan hidupnya. Jika Buddha Dīpaήkarā dan empat ratus ribu Arahatta
berjalan di atas punggungnya yang sedang bertiarap seolah-olah mereka
berjalan di atas jembatan, ia tidak mungkin dapat bertahan hidup;
memahami hal ini sepenuhnya, ia tanpa ragu-ragu dan bersemangat
mempersiapkan dirinya melayani Buddha, tindakan ini disebut kebajikan
yang sangat mendasar (adhikārakusala) menurut kitab
- Keinginan
yang kuat untuk mencapai Kebuddhaan; meskipun seluruh alam semesta
ditutupi oleh bara api yang panas menyala dan mata tombak yang tajam, ia
tidak akan ragu-ragu menginjaknya.
Penceramah: Aldo Sinatra (Minggu, 13-04-2014)
Resume ceramah oleh Aldo Sinatra