Pages

Friday, May 30, 2014

Resume Dhammadesana Aldo Sinatra

Sukho Buddhānaṁ uppādo 
sukhā saddhammadesanā 
sukhā saήghassa sāmaggi 
samāgganaṁ tapo sukho 

Kelahiran para Buddha merupakan sebab kebahagiaan
Pembabaran Ajaran Benar merupakan sebab kebahagiaan
Persatuan Sangha merupakan sebab kebahagiaan
Dan usaha perjuangan mereka yang telah bersatu merupakan sebab kebahagiaan
(Dhammapada XIV, 194)


Kisah Kelahiran Bodhisatta di Taman Lumbini 
(Majjhima Nikāya 123)
  
Tatkala usia kehamilan sepuluh bulan, Ratu Mahamaya ingin mengunjungi orangtuanya ke Devadaha, Kosala. Seperti tradisi turun temurun di India, bahwa seorang istri melahirkan di rumah ayahnya sendiri.

Ketika arakan kerajaan memasuki sebuah hutan pohon Sāla (Shorea robusta) untuk wisata, yang disebut Taman Lumbinī, antara Kapilavatthu dan Devadaha.

Ratu Mahamaya ingin berjalan-jalan menghibur diri menikmati keindahan taman yang bagai Taman Cittalatā milik Deva Sakka. 

Ketika tangan kanannya menjulur menggapai salah satu dahan, terjadi keajaiban bahwa salah satu dahan lurus menekuk ke bawah dengan sendirinya bagai batang tebu sampai mencapai telapak tangan sang ratu. Sembari berpegangan pada dahan pohon sāla, ia melahirkan bayi laki-laki dalam posisi berdiri. Kejadian ini terjadi pada bulan purnama bulan Vesākha, tahun 623 SM.

Kemudian Boddhisatta berdiri dengan kukuh, memandang ke sepuluh penjuru, menyadari tiada satu makhluk pun yang lebih luhur dari-Nya. Ia menghadap ke utara dan berjalan maju tujuh langkah. Bunga teratai muncul dari tanah di bawah setiap jejak telapak kaki-Nya.

Bodhisatta berhenti pada langkah ketujuh, mengangkat tangan kanan di atas kepala-Nya, dengan lantang Ia berseru:

“Aggo’haṁ asmi lokassa! 
Jeṭṭo’haṁ asmi lokassa! 
Seṭṭo’haṁ asmi lokassa! 
Ayaṁ antima jāti! 
Natthi dāni punabbhavo!” 

“Akulah yang terluhur di dunia ini! 
Akulah yang teragung di dunia ini! 
Akulah yang termulia di dunia ini! 
Inilah kelahiran-Ku yang terakhir! 
Tak aka nada lagi kelahiran kembali bagi-Ku!”

Bersamaan dengan kelahiran Bodhisatta, terlahir pula tujuh makhluk lainnya, yaitu: Putri Yasodharā, Pangeran Ānanda, kusirnya Channa, menteri Kāludāyī, kuda istana Kanthaka, pohon Bodhi dan empat jambangan harta (Nidhikumbhi).

Inspirasi yang dapat dipetik:
  1. Kelahiran Bodhisatta di alam terbuka, menunjukkan kedekatan dengan alam.
  2. Dengan PD dan saddha (keyakinan)-Nya, bahwa ia merasa yakin dan pasti, bahwa inilah kelahiran terakhir-Nya, tiada makhluk yang memiliki kepastian keyakinan seperti yang Ia sampaikan
  3. Berbagai “keanehan” yang menyertai kelahiran-Nya merupakan wujud kebesaran dan naungan parami yang dikumpulkan-Nya.

Bagi para kaum skeptik, pasti meragukan bahwasannya seorang bayi yang lahir dapat langsung berjalan tujuh langkah dan berbicara.
  
Tetapi, mohon diingat, ketika Ia ber-addhitana (tekad) menjadi Sammasambuddha, sesungguhnya ia sudah dapat merealisasikan kesucian penuh Arahatta pada kehidupan itu juga. Namun, karena Mahakaruna (welas asih luhur) kepada semua makhluk serta upaya kosala nana (upaya piawai), Ia menunda kesempurnaan-Nya.
  
Pikiran petapa Sumedha ketika menelungkupkan diri di rawa berlumpur sambil bercita-cita menjadi Buddha: “Jika memang kukehendaki, bisa saja aku mengenyahkan semua noda batin (āsava) dan membasmi semua kekotoran batin (kilesa) hari ini juga dan menjadi Arahāt. Akan tetapi, apalah gunanya menghindari lingkaran kelahiran dan kematian (saṁsāra) ini sendirian saja? Dengan kepiawaian-Ku dalam keyakinan, daya dan kebijaksanaan, aku akan mengerahkan usaha sebaik mungkin untuk menjadi Buddha Mahatahu dan membebaskan segenap makhluk dari lingkaran kelahiran, samudera penderitaan ini.” 

Kisah Pencapaian Pencerahan Petapa Gotama Menjadi Buddha 
(Majjhima Nikāya 36, Dhammapada 154)

Setelah melewati enam tahun masa dukkharacariya, Bodhisatta menuju ke Hutan Gayā, ke kaki pohon Bodhi (Pāli: assattha, Latin: Ficus religiosa). Ketika itu di kediamannya di dunia Paranimmitavasavattī-Deva, Marā memerintahkan prajuritnya menebar rasa ngeri menyerang, menaklukkan, menghancurkan, serta mengguncang Pangeran Siddhatta dengan menunggang gajah bengis Girimekhala. Namun pikiran-Nya tetap tercerap dalam meditasi yang dalam. 
 
Ada sepuluh pertanda buruk kedatangan Marā: 1) ribuan meteor jatuh dengan lebat dan menakutkan, 2) kegelapan total timbul seiring dengan munculnya halimun, 3) samudera dan bumi berguncang dengan keras, 4) kabut muncul di samudera, 5) banyak sungai yang airnya mengalir ke hulu, 6) puncak-puncak gunung runtuh ke tanah, 7) banyak pepohonan yang tumbang, 8) badai dan angin bertiup dengan kencang, 9) badai dan angin keras menimbulkan suara yang menakutkan, 10) matahari lenyap ditelan kegelapan dan tubuh-tubuh tanpa kepala berterbangan di angkasa.

Akan tetapi, Bodhisatta tetap duduk dengan tenang tanpa rasa takut sedikit pun, laksana raja singa Kesaraja yang duduk dengan tenang di antara hewan lainnya.

“Begitu hebatnya serangan Marā ini terhadap diri-Ku; ibu-Ku, ayah-Ku, saudara-Ku, maupun anggota keluarga-Ku yang lain, tak satu pun dari mereka berada di sini. Hanya Sepuluh Kesempurnaan (Pārāmī) yang telah Kukembangkan dan Kulatih sedemikian lamanya inilah yang akan menemaniKu dan menjadi pelindungKu satu-satunya. Tak satu pun hal lainnyayang dapat Kuandalkan untuk menghalau gerombolan Marā ini, kecuali senjata Pārāmī-Ku.

Awalnya Marā menciptakan topan badai, lalu awan tebal dengan hujan sangat deras, kemudian menghujani senjata panas; tombak, pedang, Mandau, pisau jagal, anak panah, seperti batu menyala. Namun sesampai Bodhi Mandala, semuanya berubah menjadi aneka ragam kembang surgawi.

Marā kemudian menyiramkan debu-debu panas dari langit, yang akhirnya menjadi serbuk cendana ketika mendekati kaki Bodhisatta. Kembali ia menciptakan pasir berasap yang menyala-nyala, berubah menjadi bubuk bunga surgawi. Setelah itu, menyerang dengan lumpur panas, berubah jadi ramuan wangi surgawi.

Lalu, memunculkan senjata pamungkasnya, kegelapgulitaan untuk menciutkan hati Bodhisatta, tatkala kegulitaan mendekati-Nya sirna seakan terbuyar oleh sinar mentari.

Dengan murka Marā melemparkan senjata pamungkas yang lain cakkāvudha yang dapat membelah batu, ketika mendekati Bodhisatta berubah menjadi payung dan melindungi-Nya.

Begitu Marā meminta diriNya menunjukkan bukti kesempurnaan Pārāmī-Nya, Ia berseru: “Bumi yang agung ini tak berkehendak; bumi bertindak pantas dan adil terhadap dirimu dan juga terhadap diri-Ku; ia tidak berat sebelah padamu dan juga padaKu; biarlah Bumi yang agung ini menjadi saksiKu!” Seraya berkata demikian, Bodhisatta mengulurkan tangan kananNya yang agung dari dalam jubahNya untuk menyentuh tanah. Bumi yang perkasa bergetar hebat, Marā dan pasukannya lari tunggang langgang ke seluruh penjuru. Para dewa dan brahmā yang semula melarikan diri ketakutan, muncul dan bernyanyi gembira.

Semadi dilanjutkan, dan tercapailah Tiga Pengetahuan Sejati. Pada malam purnama bulan Vesākha, 588 SM, Bodhisatta duduk bersila dengan anggun di Tahta Tak Terkalahkan (Aparājita Pallaήka) memusatkan perhatian pada latihan Dhamma semata.

Ia mengarahkan pikiran-Nya menuju pengetahuan ingatan kembali terhadap kehidupan lampau (pubbenivāsānussati ñāna). Lalu Ia mengarahkan pikiranNya menuju pengetahuan ingatan kembali terhadap lenyap dan munculnyakembali makhluk hidup (dibbacakkhu ñāna). Tatkala pikiranNya  terkonsentrasi murni, cemerlang, tanpa noda, tanpa cacat, mudah ditempa, Ia mengarahkan-Nya menuju pengetahuan mengenai penghancuran noda (āsavakkhaya ñāna). Ia mengetahui bahwa “Inilah penderitaan”, bahwa “Inilah sumber penderitaan”, bahwa “Inilah akhir dari penderitaan”, dan bahwa “Inilah jalan menuju berakhirnya penderitaan.”

Ketika Bodhisatta mencapai Arahatta-Magga, tanpa jeda sedikit pun mencapai Arahatta-Phala, Bodhisatta menjadi Yang Tercerahkan Sempurna (Sammāsambuddha) dengan mencapai kemahatahuan (sabbaññuta nana) dan patut memperoleh sebutan “Buddha” _ Yang Tersadarkan.

Lalu, Buddha mengungkapkan dua bait syair pujian kebahagiaan (Udāna) berikut ini :

“Anekajātisaṁsāraṁ _ Sandhāvissaṁ anibbisaṁ 
 Gahakāraṁ gavesanto _ Dukkhā jāti punappunnaṁ.” 

“Gahakāraka diṭṭhosi _ Puna gehaṁ na kāhasi 
Sabbā te phāsukā bhaggā _ Gahakūṭaṁ visaήkhitaṁ 
Visaήkhāragataṁ cittaṁ _ Taήhanaṁ khayamajjhagā.” 

“Tak terhingga kali kelahiran telah Kulalui 
Untuk mencari, namun tak Kutemukan, pembuat rumah ini. 
Sungguh menyedihkan, terlahir berulang kali!” 

“O pembuat rumah! Sekarang engkau telah terlihat! 
Engkau tak dapat membuat rumah lagi! 
Semua kasaumu telah dihancurkan! 
Batang bubunganmu telah diruntuhkan! 
Kini batin-Ku telah mencapai Yang Tak Terkondisi! 
Tercapai sudah berakhirnya nafsu keinginan!”


Inspirasi yang dapat dipetik: 
  1. Keteguhan yang luar biasa dari seorang Bodhisatta, calon Buddha.
  2. Sekali lagi, ia dekat dengan alam.Berada di bawah pohon Bodhi, menghadapi Marā dan bala tentaranya, hingga terealisasi pencerahan sempurna.
  3. Siapa pun dapat menjadi Buddha.  Dengan memahami bahwa:

  • Tumimbal lahir ini sungguh menyedihkan karena akhirnya dilanda usia tua, sakit dan kematian.
  • Menemukan arsitek pembuat rumah, yaitu : nafsu keinginan indrawi (kāma taήhā), nafsu keinginan untuk menjadi (bhava taήhā) serta nafsu keinginan untuk tidak menjadi (vibhava taήhā). Taήhā inilah yang menyebabkan semua makhluk melekat pada berbagai bentuk kehidupan dan terlahir kembali dalam saṁsāra.
  • Kasau rumah itu adalah sepuluh kekotoran batin (kilesa), yaitu keserakahan (lobha), kebencian (dosha), kebodohan batin (moha), kesombongan (māna), pandangan salah (diṭṭhi), keraguan (vicikicchā), kemalasan (thīna), kegelisahan (uddhacca), ketidakmaluan moral (ahirika), dan rasa tidak takut berbuat salah (anottappa).
  • Batang bubungannya adalah kegelapan batin (avijjā), yang merupakan penyebab dari segala nafsu. Kapak dari Magga ñāna telah meremukkan segala kasau kotoran batin serta bubungan kegelapan batin.

Kisah Mahaparinibbana/Pemadaman Akhir Sang Buddha 
(Dīgha Nikāya 16-17, Udāna 8.5, Aήguttara Nikāya 4. 76, 129-130, Saṁyutta Nikāya 6.15)

Setelah bertemu Pukkusa, bersama rombongan Buddha pergi ke Sungai Kakutha untuk mandi. Lalu ia menasehati Ananda untuk pergi ke tepi sungai Hiraññavati, di hutan Sala suku Malla, di persimpangan menuju Kusinārā.

Saat Buddha beristirahat di antara kedua pohon sāla kembar, bunga-bunga sāla bermekaran, meski bukan pada musimnya. Bunga-bunga karang (Pāli: mandārava, Latin: Erythirina fulgens) serta bubuk kayu cendana surgawi tercurah dari langit, serta terus menerus bertaburan di atas tubuh Tathāgata.

“Ānanda, Tathāgata tidak seharusnya dihormati, dihargai, dimuliakan, dijunjung, atau dipuja seperti ini. Namun, bhikkhu, bhikkhuni, upasaka dan upasika yang hidup berlatih sesuai Dhamma, ia menghormati, menghargai, memuliakan, menjunjung dan memuja Tathāgata.” 

Pesan terakhir Buddha kepada para bhikkhu:

“Handa dāni, bhikkhave, āmantayāmi vo, 
Vayadhammā saήkhārā, 
Appamādena sampādetha.” 

“Para Bhikkhu, sekarang Saya nyatakan kepada kalian: 
Segala hal yang terkondisi pasti akan hancur. 
Berjuanglah dengan penuh kesadaran!”
 
Setelah berpesan demikian, Sang Buddha memasuki jhāna pertama, kedua, ketiga, keempat, dst sampai dengan jhana kedelapan. Mundur sampai ke jhana pertama. Kemudian memasuki jhana kedua, ketiga, keempat, Sang Buddha mencapai Nibbāna akhir.

Pada saat itu, pada waktu jaga terakhir malam hari, pada hari bulan purnama, bulan Vesākha 543 SM dan pada umur delapan puluh tahun, Yang Terberkahi wafat tanpa meninggalkan sisa apa pun.

Inspirasi yang dapat dipetik:
  1. Suatu kerendah hatian dari seorang Yang Tercerahkan, bahwa bukan dengan hal-hal materi seperti bunga, dsb untuk menghormati Buddha. Melainkan dengan mempraktikkan jalan hidup dalam Dhamma adalah penghormatan yang sejati. Inilah kepedulian Sang Buddha kepada para siswa-Nya. Alih-alih meminta penghormatan superficial, Beliau meminta kita bersungguh-sungguh dalam praktik kebajikan, menghindari keburukan dan mensucikan pikiran.
  2. Tanpa menunjukkan siapa yang menjadi penerus Beliau dalam memimpin sangha, Sang Buddha menetapkan Dhamma dan Vinaya lah pemimpin para bhikkhu dan umat.
  3. Kembali Buddha menunjukkan kepedulian-Nya kepada alam, dengan memilih mencapai Nibbana akhir di alam bebas, yaitu di antara pohon sala kembar di Kusinara.

Selamat merayakan Hari Tri Suci Waisak, dan selamat merenungi makna di baliknya.
Semoga jasa-jasa ini melimpah kepada seluruh makhluk…
Baik yang tampak maupun tak tampak…
Kepada para leluhur baik di kehidupan saat ini maupun di kehidupan kami yang lampau, yang memiliki hubungan karma dengan kami.

Semoga semua makhluk hidup berbahagia…
Sabbe satta bhavantu sukhitata
Sadhu sadhu sadhu 

Penceramah: Aldo Sinatra (Minggu, 25 Mei 2014)  
Resume ceramah oleh Aldo Sinatra

Sunday, May 25, 2014

Laporan dari Waisak di Candi Jiwa, Karawang (25-05-2014)

Minggu, 25 Mei 2014 rombongan umat Vihara Karuna Mukti (Bandung) menggunakan 2 mobil (bus dan minibus) berangkat ke Candi Jiwa, Karawang.

Perayaan Waisak 2558 BE -2014 ini merupakan perayaan Waisak ke-7 yang dilaksanakan di Candi Jiwa. Bagi admin (HFJ) ini adalah kunjungan pertama ke Candi Jiwa, Karawang. Ini adalah kesempatan untuk ke-3 kalinya admin mendengarkan secara langsung ceramah Dhamma Bhante Uttamo Mahathera. Ketika acara selesai, admin berkesempatan foto bareng Bhante Uttamo.

Secara keseluruhan, acara yang persiapkan umat Buddha dari berbagai mashab ini  berlangsung sukses dan lancar. 

Tema Waisak tahun 2014 ini  "Kerukunan Dasar Keutuhan" tercermin dari rukunnya panitia dalam pelaksanaan hari besar agama Buddha ini dan tamu undangan yang hadir. Ada Bupati Karawang, Drs. H. Ade Swara, MH beserta ibu, unsur TNI dan polri. Juga hadir Direktorat Jenderal Bimas Buddha, Drs. Dasikin, M.Pd. dan Pembimas Buddha Kanwil Kementerian Agama Prov. Jabar, Eko Supeno, S.Ag.

Pesan Waisak oleh Bhante Uttamo Mahathera yang penuh humor memang momen yang paling ditunggu. Maaf jika tulisan ini tidak dilengkapi foto saat Bhante Uttamo saat menyampaikan pesan Waisak karena admin duduk persis di belakang beliau (sangat tidak pantas hilir mudik untuk mengambil foto). Seorang pria seorang pria berseragam (ajudan Dirjen Bimas Buddha?) sampai mengingatkan panitia agar saat acara tidak lagi ada umat yang hadir hilir mudik, terlebih saat Bhante Uttamo berbicara. Tapi tetap saja yang yang hilir mudik. 

Berikut rekaman gambar dan video yang berhasil diabadikan Hendry Filcozwei Jan.


Altar Perayaan Waisak 2558 BE - 2014 di Candi Jiwa, Karawang








MC dan penyanyi dari homeband menghibur sebelum acara dimulai.




MC (kiri) dan penyanyi dari homeband (kanan) menghibur sebelum acara dimulai.


Aksi penyanyi asal Tangerang yang menyanyikan lagu "Lentera Dunia", "Hadirkan Cinta" dan "Harumnya Kebajikan" karya Joky, pencipta lagu Buddhis kenamaan.


















Rombongan Bhikkhu memasuki lokasi perayaan Waisak.














Persembahan Puja Waisak 2558 BE - 2014




Tamu undangan yang hadir



Persembahan Puja Waisak 2558 BE - 2014






Penyalaan lilin oleh Bhante Cittagutto Thera




Drs. H. Ade Swara, MH beserta ibu.











Drs. H. Ade Swara, MH saat akan menyampaikan kata sambutan.

Bhikku Sangha










Tamu undangan yang hadir dari unsur polri, TNI, dan Bupati Karawang







Video Perayaan Wasak 2558 - 2014 di Candi Jiwa, Karawang




Sunday, May 18, 2014

Resume Dhammadesana Romo Suyanto

Anavajjāni kammāni
Etammangalamuttamam

 
Memiliki pekerjaan tidak tercela
Itulah berkah utama
 

Sebagai manusia tanpa pekerjaan, kita tidak dapat hidup yang layak. Apalagi hidup di kota besar. 

Pentingnya pekerjaan ini, menimbulkan problem. 
  1. Ada pekerjaan yang sesuai dengan Dhamma, tapi tidak dapat mencukupi kebutuhan keluarga. 
  2. Ada pekerjaan yang bertentangan dengan Dhamma, tapi hasilnya berlimpah dan mencukupi kebutuhan keluarga.
Sebagai seorang pemeluk agama Buddha, hendaknya tetap memiilih yang nomor 1. Meski mepet/kurang, kita dapat dengan menambah keterampilan. Cari kursus/kuliah malam. Atau menambah penghasilan/pekerjaan di malam hari. Untuk menyiasati kekurangan tersebut.
 

Bila sudah menambah berbagai keterampilan, dan sebagainya masih kurang juga, belum dapat mencukupi kebutuhan, hendaknya kita tetap memiliki kesadaran, bahwa mungkin belum karmanya. Tapi kita harus bangga dan merasa puas karena hal tersebut adalah hasil jerih payah sendiri.

Dalam bahasa Jawa, ada tradisi turun temurun yaitu jangan melanggar mo limo mo (5M):

  1. Mendem ~ mabuk-mabukan
  2. Madon ~ main wanita, menyenangi wanita lain, selingkuh
  3. Madat ~ kecanduan narkotik
  4. Maen ~ judi
  5. Maling ~ mencuri
Mirip dengan Pancasila Buddhis. Ditambah melakukan kebajikan, seperti berdana, sila, dan seterusnya, kita dapat meraih kesuksesan.

Bagaimana dengan melanggar Dhamma tapi berkelimpahan?
Ingat, segala sesuatu tidak kekal/anicca. Kita dapat meninggal dunia, dan memetik akibat buruk di kehidupan mendatang.

Ada 5 pekerjaan yang melanggar Dhamma, yaitu berdagang:

  1. Senjata. Banyak kejahatan terjadi karena kepemilikan senjata api. Penjual mendorong orang berbuat jahat.
  2. Manusia. Trafficking. Di kampung-kampung membeli anak-anak gadis dijual. Untuk prostitusi. Ada yang diambil organ tubuhnya.
  3. Makhluk hidup. Berdagang burung tidak selaras dengan Dhamma. Kalau fangshen, upayakan spontan. Membeli tanpa janji pesan ke penjual. Agar tidak ada penyediaan stok di  penjualnya.
  4. Miras. Bila ketahuan di penjara, bila tidak merusak otak diri sendiri dan orang lain.
  5. Racun. Racun serangga, tikus, hama.
Sebaiknya dihindari. Karena mengurangi umur makhluk hidup.

Dengan melakukan sila, kita akan mendapatkan kesejahteraan. Dan dapat terlahir di alam bahagia. Silena sugatim yanti. Silena bhogasampada.

Penceramah: Romo Suyanto (Minggu, 18 Mei 2014)
Resume ceramah oleh Aldo Sinatra 

Friday, May 16, 2014

Aneka Lomba Waisak 2014-2558 BE di Vihara Karuna Mukti, Bandung

Minggu, 11 Mei 2014 bertempat di Vihara Karuna Mukti diadakan aneka lomba dalam rangka Hari Trisuci Waisak 2014 - 2558 BE. Lomba untuk anak-anak SMB VKM (Sekolah Minggu Vihara Karuna Mukti) terdiri dari lomba membaca paritta, loma menghias nasi goreng (anak dan ibu), dan lomba cerdas cermat Buddhis.

Lomba baca paritta diikuti oleh 4 kelompok. Kelompok 1: Cinta, Mita, Vania, kelompok 2: Revata, Neylam, Kessa, kelompok 3: Maitri, Jiva, Vern, kelompok 4: Bowo, Catta, Dhika.

Urutan ini berdasarkan kelompok yang tampil terlebih dahulu, sedangkan nomor kelompok yang sebenarnya adalah kebalikannnya. Nomor kelompok sebenarnya adalah kelompok 1 adalah yang tampil terakhir, kelompok 2 adalah yang tampil  urutan ke-3, kelompok 3 adalah yang tampil urutan ke-2, dan kelompok 4 adalah yang tampil pertama. 

Juri lomba baca paritta: Ramani Vimala Puspita, Jarwo, Bhante Paññanando.


Lomba menghias nasi goreng (nasgor): kelompok 1: Celline & Mama, kelompok 2: Kenzo & Mama, kelompok 3: Metta & Mama, kelompok 4: Neylam & Mama. Juri: Ibu Linda, Ibu Erna, Ibu Harti.

Lomba cerdas cermat Buddhis: kelompok 1: Vern, Revata, Cinta, kelompok 2: Jiva, Vania, Dhanika, kelompok 3: Mita, Maitri, Kessa, kelompok 4: Dhika, Neylam, Bowo. Juri: Kak Lani, pencatat nilai: Kak Ari.

Berikut foto-foto kegiatan lomba tersebut dalam rekaman lensa Hendry Filcozwei Jan.


Lomba Baca Paritta
Juri lomba baca paritta: Ramani Vimala Puspita, Jarwo, Bhante Paññanando

 Kelompok 1: Cinta, Mita, Vania

Kelompok 2: Revata, Neylam, Kessa

Kelompok 3: Maitri, Jiva, Vern

Kelompok 4: Bowo, Catta, Dhika


Lomba Menghias Nasi Goreng
 Juri lomba menghias nasi goreng: Ibu Linda, Ibu Erna, Ibu Harti

 Perserta lomba menghias nasi goreng

 Mama Celline

  Kenzo & Mama

Metta & Mama

 Neylam & Mama

 Kreasi Nasgor ala Celline & Mama

  Kreasi Nasgor ala Kenzo & Mama

 Kreasi Nasgor ala Metta & Mama

  Kreasi Nasgor ala Neylam & Mama

  Demi mendapatkan dokumentasi video terbaik, apa pun dilakukan. 
Bahkan Dhira sampai rela masuk ke kolong meja demi menghasilkan dokumentasi terbaik.  

 Ibu Erna & Ibu Linda mencicipi nasgor karya peserta lomba. 
Selain penampilan, rasa juga jadi salah satu poin yang dinilai.

  Ibu Harti mencicipi nasgor karya peserta.


Lomba Cerdas Cermat Buddhis
 Kelompok 1: Vern, Revata, Cinta

Kelompok 2: Jiva, Vania, Dhanika

Kelompok 3: Mita, Maitri, Kessa

Kelompok 4: Dhika, Neylam, Bowo

 Juri lomba cerdas cermat Buddhis: Kak Lani, pencatat nilai Kak Ari, dokumentasi: Kak Dhira



Hasil penilaian lomba:
Lomba baca paritta: Kelompok 1: nilai 59, Kelompok 2: nilai 70, Kelompok 3:  nilai 58, Kelompok 4: nilai 61 (penilaian ini sedang dikonfirmasi kepada juri, apakah penilaian ini diberikan sesuai urutan yang tampil atau berdasarkan nomor urut yang sebenarnya).

Lomba menghias nasi goreng: Celline & Mama nilai: 65, Kenzo & Mama nilai: 67,7, Metta  & Mama nilai: 71,9, Neylam & Mama nilai: 74,5

Lomba cerdas cermat Buddhis: kelompok 1: 850, kelompok 2: 1.000, kelompok 3: 800, kelompok 4: 1.650



Selamat kepada yang menang, yang kalah jangan berkecil hati. Sampai jumpa di lomba-lomba Waisak tahun depan. 


Liputan dan foto oleh: Hendry Filcozwei Jan 
 

Blogger news

Blogroll

About